Penceramah Bersertifikat atau Sertifikasi Penceramah?


Lagi-lagi Kementerian Agama membuat gaduh Negeri ini dengan berbagai programnya. Masih ingat ketika menteri dari militer ini baru dilantik  mau melarang celana cingkrang dan  bercadar masuk kantor pemerintah? Kontroversi berlanjut dengan rencana Kementrian dengan motto Ikhlas Beramal ini akan mendata seluruh kegiatan pengajian?  Yang paling hangat sekarang digulirkan lagi rencana melakukan sertifikasi Penceramah. 

Awalnya dulu namanya Sertifikasi Da'i, namun karena kuatnya penolakan umat Islam, lalu program ini di branding menjadi Sertifikasi Penceramah untuk semua agama, karena ternyata penolakan tetap ada bahkan makin besar akhirnya kementerian ini "utak atik kata" dan yang terbaru dibranding dengan nama Penceramah bersertifikat

Apa Urgensinya?

Walaupun embel-embel bahwa penceramah bersertifikat untuk semua agama, saya yakin kita sama sama tahu lah, yang ditarget itu Dai-dai Umat islam, karena beberapa alasan; yang pertama, umat islam adalah umat terbesar di Indonesia dan tentunya penceramahnay paling banyak; yang kedua,  program ini dibawah Bimas Islam atau minimal yang paling sering tampil di publik adalah Dirjen Bimas Islam; yang ketiga belum jelas penganggaran program ini dibawah siapa, bahkan kalau memang untuk semua agama kenapa tidak dibawah Sekjen?  berbagai usaha berbelit kementerian Agama jelas menampakan bahwa sasarannya adalah dai-dai Islam.

Walaupun MUI yang katanya akan dijadikan mitra program ini sudah jelas menolak, namun Kementrian tetap getol mensosialisasikan program ini dan di PAKSA jalan tahun ini dengan target 8200 penceramah. Anehnya anggaranya saja belum dibahas dengan DPR, itu kata Wakil Ketua MPR hidayat nur wahid

Alasan utama kata kementerian Agama adalah memberikan wawasan kebangsaan dan pancasila bagi para penceramah sehingga nanti penceramah tidak RADIKAL. Dari sini saja sudah menyakiti umat Islam, seakan akan dai-dai itu radikal sehingga harus diajari cara berbangsa dan bernegara dan berpancasila, Negara lupa bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengejawantahan dari "la Illa ha illalah"bahwa tiada Illah yang pantas disembah kecuali Allah", dan tuhan itu Esa/ Tunggal. 

Intinya tidak ada urgensi sama sekali adanya sertifikasi ini, bahkan tidak ada manfaatnya saat ini, kenapa? karena tidak ada reward dan punishment. Ikut boleh, ga ikut juga ga papa, ga ikut sertifikasi juga masih boleh ceramah. Program Plin-plan tanpa ada kejelasan Reward and Punishment seperti ini tidak akan sukses dalam pandangan saya. 

Mengapa kementerian Agama tidak tegas, misal semua dai dan penceramah agama harus bersertifikat? karena baru program yang sifatnya sukarela saja sudah ditolak ormas dan umat Islam, apalagi diwajibkan, akan chaos negeri ini, Ironis memang, target kementerian Agama meningkatkan kerukunan beragama, tapi sumber Kegaduhan dari Menteri Agama sendiri.  makanya semua serba gamang, sama gamangnya dnegan program pemerintah mendata majelis taklim, atau lebih tepatnya mengawasi majelis taklim yang sampai saat ini tidak jelas kabarnya. 

Apakah ini Sertifikasi Profesi?

Ternyata tidak, Dirjen Bimas Islam mengatakan bahwa ini bukan sertifikasi profesi, karena pemerintah tahu jika ini sertifikasi profesi pemerintah harus menyiapkan dana untuk membayar profesi penceramah tiap bulannya. Program ini hanya program "menambah wawasan bernegara dan berpancasila" bagi para dai dan penceramah agama lainnya. Lalu setelah ikut " Pelatihan" dapat sertifikat,  apa manfaat sertifikat ini? sampai saat ini masih ghoib apa itu manfaatnya?

Saya sendiri masih ingat ketika menteri Agama baru dilantik, beliau katanya fokus pada mengelola administrasi Agama, bukan pada agama itu sendiri dan keyakinan pemeluknya, terus bagaimana dengan program ini? Yang bisa jawab tentu sang menteri sendiri. 

Yang dikhwatirkan Umat Islam

Saya yakin umat islam tidak bodoh, dan ada yang disembunyikan dari "Big Plan" dari sertifikasi ini. Berikut ini adalah kekhwatiran umat islam dan saya pribadi

  1. Awalnya ini program sukarela, tidak ada reward and punishment namun secara bertahap akan ada aturan lain yang mengatur output dari sertifikasi, misal yang boleh ceramah di Masjid pemerintah dan BUMN harus yang sudah bersertifikasi. 
  2. Selanjutnya jika ini sukses, maka akan merembet ke masjid pemerintah daerah, sekolah dan mungkin lama lama pondok pesentren ustad ustadnya harus bersertifikat kalau ingin mengajar. 
  3. Lama lama ada reward and punishment, misal bagi yang punya sertifikat akan dapat bantuan pemrintah baik lembaganya atau pun secara perorangan  dan sanksi bagi yang tidak punya sertifikat dilarang mengajar dan berceramah. 
Mengapa saya berkesimpulan arahnya kesana? karena buat apa program ini begitu dipaksakan seorang menteri yang dengan kekehnya mengatakan walaupun banyak yang menolak, program ini harus jalan? pasti ada rencana jangka panjangnya, ga cuma menghamburkan uang negara untuk sertifikasi kosong tanpa manfaat apapun.

Masih ingat dengan jelas bagaimana Menteri agama menyakiti umat Islam bahwa dengan entengnya menganggap bahwa Orang radikal itu cara masuk ke masjid pemerintah itu dengan mengirim anak yang Good looking, Hafiz dan pintar bahasa Arab . Ini kan benar-benar menyerah langsung ke umat Islam. Lama-lama ada image kalau ada anak good looking, hafiz dan pintar bahasa arab, itu ciri ciri bibit bibit radikal. Seorang menteri ini apa tidak punya staff ahli dibidang komunikasi? Sebelum menyampaikan hal didepan publik di pikirkan dulu matang-matang? Lalu tiba tiba dirjen Bimas Islam mengklarifikasi bla bla bla bahwa bukan itu maksud menteri. Apakah pak Dirjen tahu isi hati menteri? atau sudah komunikasi dengan Menteri? lebih baik menteri sendiri yang klarifikasi. 


Isu Sebenarnya

Sebenarnya jika Pemerintah mau berkaca, terutama Kementerian Agama isu sebenarnya adalah krisis kepercayaan umat Islam kepada pemerintah dan pada kementrian agama khususnya. Sementara di sisi lain, pemerintah buru-buru menyimpulkan Dai-dai yang  mengkritik pemerintah dan bersebrangan dengan pemerintah di cap Radikal. 

Seingat saya, negara ini negara demokrasi, harusnya pemerintah bisa intropeksi apakah memang harus ada yang dievaluasi didalam pemerintah terhadap kebijakannya kepada umat islam, atau memang orang yang mengkritiknya benci dengan pemerintah dan radikal? apakah pemerintah pernah membuat penelitian seperti ini?

Kita juga sadar ada beberapa dai yang radikal dan keras dalam bersikap, namun akan lebih bijak jika Kementrian Agama menggandeng MUI serta ormas atau ponpes r untuk memberi nasehat kepada Dai dai yang dianggap radikal, bukan malah membuat perpecahan dengan mendikotomi Dai bersertifikat dan dai tidak bersertifikat, dan main cap  DAI itu radikal, dai ini radikal, lama lama bisa muncul image dimasyarakat ada DAI PRO PEMERINTAH dan DAI ANTI PEMERRINTAH.   INGAT ,seperti yang dikatakan wakil MUI, BELANDA DULU JUGA MENGANGGAP PARA ULAMA DAN PARA PEJUANG ITU RADIKAL KARENA INGIN MERDEKA DARI PEMERINTAH KOLONIAL. dan MUI sebagai Payung para dai di indonesia sudah menyatakan penolakannya.


Solusinya?

Menurut pandangan saya pribadi solusi untuk masalah ini adalah:  
  1. Jika mau dijalankan, Yang melakukan sertifikasi adalah lembaga/oOrmas  yang mengurus bidang ini misal kalau Islam mungkin NU, Muhammadiyah atau MUI kalau untuk Agama Kristen PGI dan sebagainya  
  2. Sertifikasi penceramah harus ada reward and punishment yang jelas jika ingin sukses , misal bagi yang bersertifikat ada tunjangan 1 juta perbulan bagi penceramah, bagi yang belum bersertifkasi di lakukan bimbingan sampai dapat sertifikasi. 
  3. Sebelum program digulirkan ada musyawarah minimal pihak kementerian agama, MUI, lembaga keagaman agama dan FKUB dan baru disosialisasikan secara bertahap agar tidak terjadi miskomunikasi , disinformasi apalagi HOAX.
  4. Menteri agama harus sadar beliau itu tidak sedang memimpin Batalyion, KODAM atau KODIM, tapi kementrian yang mengurus umat beragama seluruh indonesia, tidak serta merta perintah dan rencananya seperti garis komando. Komunikasi yang buruk atau anti kritik makin menjauhkan umat islam ke kementrian agama, yang efeknya akan menghambat semua program kerja kementerian. 
  5. Jika program ini hanya sekedar sertifikasi TANPA MANFAAT, hanya sekedar pemberian wawasan BERNKRI dan berpancasila, JADIKAN saja program ini Program INDUK dari Lemhanas dan BPIP dan kementrian agama hanya memfasilitasi saja, bukan kementerian agama sebagai motornya. 
Saya berharap kementerian agama ini kedepan makin memperbaiki komunikasi publiknya, memberikan kesempatan kepada umat islam dan umat beragama lainnya untuk memberikan masukan, usulan dan pendapat sebelum program dijadikan program kementerian  dan MENDENGAR Aspirasi umat, JIKA UMAT MENOLAK SERTIFIKASI INI, KENAPA MASIH TERUS DIPAKSAKAN?